Lintas Peristiwa Ghifarie


Mushaf (6)

Posted in Ageman oleh ghifarie pada Oktober 30, 2009
Puasa dan Perdamaian Sejati
Oleh IBN GHIFARIE

Tak terasa memang. Saat kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini telah memasuki hari keduabelas. Ada juga yang tigabelas, empatbelas atau kelimabelas.

Semua umat islam berusahan menjalankan perintah Tuhan. Tinggal beberapa hari lagi kita akan meninggalkan bulan penuh ampunan ini.

Adakah pengalaman yang bisa kita petik dari kehadiran shaum ini supaya sikap kecurigaan, kebencian dapat kita tanggalkan sekaligus membangun perilaku kerukunan, toleransi, persatuan, perdamaian antarumat beragama ditengah-tengah aksi terorisme di Indonesia ini?

Menodai Kesucian Ramadhan
‘Menunda’ segala bentuk keinginan adalah pelajaran yang bisa kita ambil dari shaum ini. Dalam ajaran Islam, puasa disebut jihad akbar. Tentu, nilainya (jika diabndingkan) akan lebih besar dari sekadar perang fisik. Mari kita tengok petuah Rasulullah Saw pascakemenangan perang Badar, Ia menuturkan di hadapan para sahabatnya “Kita baru kembali dari jihad kecil, dan akan menghadapi jihad akbar,” Para sabatpun bertanya, “Apa yang kau maksud jihad akbar itu Ya Rasulullah?” Ia menjawabnya, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Menurut Nurcholish Madjid (1994:124) hawa nafsu merupakan bagai kecil dari keinginan-keinginan yang ada pada diri sendiri. Sejatinya, kehadiran ramadhan adalah salah satu tahapan (godokan) dalam menunda sejenak pelbagai keinginan dalam mengarungi kehidupan selama 11 bulan ini. Apa pun bentuknya!

Bila kita kuat memegang amanat suci puasa ini, niscaya tak ada lagi upaya ‘mempercepat kematian’ orang lain (seagama, antaragama) dengan aksi bom bunuh diri. Juga aksi pengrusakan warung dagangan (siang hari), tempat hiburan (siang-malam), penetriban Ajal (anak jalanan) dan Gepeng (Gelandangan dan Pengemis jalanan) di pinggiran Ibu Kota atas nama ‘penodaan’ bulan suci? Ironis memang!

Petuah Rasul tentang aturan shaum supaya tidak mendapatkan predikat sia-siap pun kita langgar, dan hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga “”Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Hadits yang lain, menyebutkan “Berapa banyak orang puasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga; dan berapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam hari, hanya mendapatkan begadang saja.” (HR. Nasa’i)

Parahnya lagi, jaminan lipatan pahala puasa sekaligus mendapatkan balas langsung dari Tuhan, malah kita abaikan “Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, “Kecuali puasa, Aku yang akan membalas orang yang mengerjakannya, karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim). Mengerikan memang!

Dengan demikian, shaum tidak hanya diartikan sebagai menahan lapar, haus, dan seks suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Melainkan amarah sambil berusaha saling memaafkan amarah dan berlomba-lomba dalam kebajikan.

Perdamaian Sejati
Mencermati tradisi kebencian yang telah mengakar dibelahan dunia manapun , termasuk Indonesia dengan semarak aksi teroris mengusik Milad Hanna, seorang intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi Mesir untuk merancang sebuah dunia baru tanpa kebencian.

Hanna menilai, perkembangan dunia sekarang ini lebih didominasi oleh konsep-konsep dan tesis yang berisi semangat mengumbar kebencian kepada yang lain (karahiyatul akhar). Di antara konsep dan tesis itu; “konflik kelas” Karl Marx dan tesis “Clash of Civilization” Samuel P. Huntington (1996). Baginya, teori-teori itu dianggap berperan besar dalam menciptakan semangat kebencian. Karena, baik konsep Marx dan perkembangannya maupun Huntington yang menjadi prediksi futuristik justru telah mendorong terjadinya tatanan dunia yang penuh konflik. Kedua teori itu melecutkan sentimen kolektif manusia agar saling memusuhi satu sama lain.

Melihat kenyataan ini, maka Hanna segera mengajukan sebuah konsep pembanding yang ingin menempatkan kedamaian dan penerimaan bagi “yang lain” di atas segalanya. Tawaran konsep ini disebutnya sebagai qabulul akhar. Dalam konsep ini, Hanna menyerukan untuk menjunjung pluralisme dan menerima keberbedaan atas yang lain. Tawaran konsep ini ditulis Hanna dalam sebuah buku berjudul Qabulul Akhar: Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat (Mesir: al-I’lamiyyah Lin Nasy, 2002) edisi Indonesianya “Menyongsong yang lain, Membela Pluralisme” yang diterjemahkan oleh Guntur Romli (2005) dan diterbitkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). [Majalah Syir’ah, edisi Juni 2006]

Bagi Sang Buddha “Tidak pernaha di dunia ini kebencian bisa diredakan dengan kebencian. Kebencian hanya bisa diredakan dengan ketidakbencian”. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita harus berjuang menggunakan Dhamma dan ketahanan kesabaran. Inilah inti ajaran Sidarta Gautama.

Kiranya, kita harus berguru kepada Mahatma Gandhi soal puasa perdamaian. Konon, tatkala Mahatma Gandhi hendak mempersatukan umat Islam dan umat Hindu di India yang saling bermusuhan melanda Kalkuta, Ia berpuasa sampai kedua umat beragama itu menyatakan perdamaian. Sejak 13 Januari 1948, Ia memulai menjalankan puasa untuk perdamaian New Delhi.

Tak hanya itu, Ia juga mengajarkan bahwa semua umat manusia di dunia ini bersaudara. Kendati, dalam perjalanan untuk sembahyang (30 Januari), Nathuram Godse, seorang Hindu Fanatik yang tak setuju seruan damai, berhasil membunuhnya.Inilah pelajaran berharga dari puasa dalam membangun perdamaian sejati. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.

Tulisan ini dimuat pada rubrik “Wacana” Bandung Ekspres, 7 September 2009

Mushaf (5)

Posted in Ageman oleh ghifarie pada September 3, 2009
Kemerdekaan dan Ketidakmandiriaan Dalam Beragama
Oleh IBN GHIFARIE

Merdeka, merdeka dan merdeka. Kata inilah yang selalu dilontarkan oleh siapapun di Bumi Pertiwi ini saat menginjak tanggal 17 Agustus. Beragam perayaan pula digelar masyarakat untuk mengekspresikan kemandirian bangsa. Pasalnya, Negara Zamrud Katulistiwa terlepas dari segala bentuk penjajah.

64 Tahun kita memperingati hari Ulang Tahun kebebasan dari Negara Asing tersebut. Benarkan kita telah mandiri sebagai Negara yang berkembang?

Pertanyaan ini layaknya kita ajukan kembali, karena kemeredekaan mensyaratkan keterpisahan dari segala bentuk keterbelengguan suatu bangsa. Termasuk dalam beragama dan berkeyakinan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga Departemenen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, merdeka memiliki beberapa arti, yaitu bebas; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Jadi, merdeka tidak hanya berkaitan dengan pembebasan dari penjajahan bangsa, tapi bisa juga berkaitan dengan diri sendiri. Yakni memerdekakan diri dari segala bentuk ”jajahan” atau hal-hal yang membelenggu diri.

Mencoreng Makna Kemerdekaan
Ambil contoh perlakuan yang dapat membelengu sekaligus merampas hak warga Negara untuk memiliki keyakinan ini menimpa pelbagai komunitas penghayat atau aliran kebatinan lokal. Komunitas Sunda Wiwitan, Aliran Pangestu atau Perjalanan, Wahidiyah dan Sedulur Sikep konteks Jawa Barat. Seakan-akan pemerintah hanya mengakui keberadaan enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hucu) saja. Celakanya, Negara selalu meniding agama atau kepercayaan suku asli Indonesia sebagai agama sempalan (sinkretis) yang harus kembali ke agama Induknya (Hindu dan Budha). Ironis memang.

Padahal, sebaliknya agama lokal (indigenous local religions) justru agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli Nusantara jauh sebelum agama infor datang ke Indonesia, ungkap Siti Musdah Mulya. (2007)

Hak sipil mereka pun tak terpenuhi. Yakni hak untuk mendapatkan identifikasi diri sebagai warga Negara. Inilah yang harus kita perjuangkan hak-hak minoritas ini tambah Musdah. Alasannnya, karena keberagamaan yang sejati mensyaratkan kebebasan untuk memilih keleluasaan manusia terletak pada kebebasannya dan tak ada tanggungjawab serta balasan baik dan buruk. Apalagi tidak ada kebebeasan untuk memilih.

Kemandiriaan Beragama
Kemerdekaan manusia adalah hak atas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepasuan dan ketidaksejatian (superfic al atau psedo religiocity). Pemaksaan yang dilakukan oleh orang atau Negara terhadap organisasi atau kelembagaan agama dengan cara tertentu yang tak sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri dapat menimbulkan ketidaklanggengan. Begitupun larangan terhadap orang-orang untuk berpindah agama.

Dengan demikian, kebebasan berpikir untuk memilih agama yang berdasarkan suara hati merupakan modal utama dalam memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya aliran kepercayaan sekalipun.

Pasalnya, hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain, dan Tuhannya. Di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya. (Konsili Vatikan II, GS 16); Dalam Perjanjian Baru, Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kol 3:23) Di samping taat kepada hukum Allah, manusia juga perlu harmonisasi dalam hati nurani.

Etika Kebuddhaan adalah etika nurani. Melaksanakan Etika Kebuddhaan artinya membangun kebiasaan untuk berhati nurani; Pemujaan Sang Hyang Atma sebagai Batara Hyang Guru dalam agama Hindu adalah pemujaan Guru yang ada dalam diri. Suara Sang Hyang Atma itu tiada lain adalah suara hati nurani. Orang yang gelap hati nuraninya cenderung berbuat yang makin menutup sinar suci Tuhan; Di dalam kitab Su Si agama Kong Hu Cu mengatakan, berbuat sesuai dengan Hati Nurani itulah Tao, sedangkan bimbingan untuk hidup menempuh jalan sesuai hati nurani itulah agama. Manusia yang tidak mengenal hati nuraninya maka ia tidak mengenal Tuhan.

Kiranya, dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kemandirian sekaligus bebas memilih untuk beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, kemandirian dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.

Sikap saling menghargai, menghormati dan cinta kasih di antara warga negara yang berbeda agama, kepercayaan merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan social–seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) saat merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit ketidakbergantungan dalam bingkai menghargai kebhinekaan agama dan etnis pada bangsa lain hendaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban Indonesia ke arah yang lebih baik.

Tentunya, tak ada alasan lagi kata menunda sekaligus membatasi warganya untuk urusan [pilihan] beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana dicantumkan oleh para pendiri republik tercinta ini. Inilah makna terdalam dari kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama

Laman Berikutnya »